LintasPati.Com - Kota, Bupati Pati Haryanto baru-baru ini menghadiri Pembahasan Bea Perolehan Hak atas Tanah dan Bangunan (BPHTB) setelah E-BPHTB atau pembayaran BPHTB secara online, di Ruang Joyokusumo Setda Pati. Kamis (27/09).
Acara ini dihadiri oleh Sekda Pati Suharyono, Kepala BPPKAD, dan para Pejabat Pembuat Akte Tanah (PPAT) yang ada di Kabupaten Pati.
Bupati Haryanto menyampaikan hingga saat ini, perolehan BPHTB baru mencapai Rp 4,8 milyar dari targetnya Rp 7,2 milyar.
Pihaknya juga menampik isu yang berkembang terkait adanya permainan dalam masalah BPHTB ini. Padahal faktanya ada sekitar 2.000 berkas yang menumpuk dan belum terselesaikan.
"Padahal, kalau kita mengacu pada aturan perundang-undangan, tarifnya di bawah calo. Sedangkan, kita juga berupaya menurunkan biaya BPHTB yang dulu lima persen karena banyaknya keluhan akhirnya kami membuat surat kepada Kementerian Keuangan menjadi dua setengah persen," ujarnya.
Terkait hal tersebut, Bupati juga menyampaikan bahwa, dulu Pemkab pernah mengajukan Peraturan Bupati (Perbub) terkait klasifikasi harga tanah saat masih bupati terdahulu. Tetapi karena banyak komplain dari masyarakat, akhirnya pengajuan tersebut dicabut sehingga sampai sekarang harga tanah tergantung kesepakatan antara penjual dan pembeli.
"Memang betul ada beberapa wilayah yang membutuhkan klasifikasi tanah seperti misalnya wilayah perkotaan dan daerah industri di Desa Karaban Kecamatan Gabus, Kecamatan Margoyoso, Juwana dan Pati. Tetapi, juga ada yang tidak membutuhkan, sebab masyarakat biasanya mematok harga tanah seenaknya padahal itu memberatkan pembeli. Kemudian juga menyulitkan dalam penghitungan ketika akan membayar BPHTB," bebernya.
Bupati berpendapat, solusi atas persoalan ini sebenarnya amat sederhana. "Ketika membeli tanah dengan harga Rp 70 juta dilaporkan demikian halnya dengan nominal yang sama. Tetapi terkadang dalam proses negosiasi transakai jual beli tanah biasanya dilakukan markdown agar pajaknya tidak terlalu banyak," ungkapnya.
Kalau Pemkab menentukan kelipatan, menurut Bupati, itu tak ada dasarnya. "Sebab sudah jelas di dalam peraturan ketika nilai transaksi kurang dari Rp 50 juta tidak kena pajak dan ketika diatas Rp 60 juta harus bayar pajak. Andai ada kelebihan pendapatan, tidak ada insentif untuk Bupati, Setda, BPKAD dan lainnya," tandasnya.
Ketika Pemkab Pati mengacu pada Nilai Jual Objek Pajak (NJOP), lanjut Haryanto, jelas itu tidak mungkin karena saat di lapangan nilai jual tanah dinamis dan fluktuatif tergantung kesepakatan antara penjual dan pembeli.
Kondisi demikian mengakibatkan permasalahan ini menjadi rumit, sehingga ketika ingin menaikkan NJOP, Pemkab kesulitan. Sebab, harga tanah tidak ada patokan yang jelas.
"Disamping itu, ketika NJOP ditingkatkan kita juga bingung karena di lapangan tidak semua penjual bermain seperti itu. Meski demikian, untuk menerapkan penaksiran kepastian harga kami belum bisa. Sebab kebijakan seperti itu harus ada pembahasan lebih lanjut, karena penetapan harga tanah berkaitan dengan jual beli", tutupnya. (lp/ hms)
0 komentar:
Posting Komentar